Kamis, 30 Juni 2011

Hukum KoDifikasi PidanA

PERCOBAAN KEJAHATAN (Pogging)
A.      Perlunya Percobaan Kejahatan di Pidana

Pogging yang dapat dihukum Pogging yang tidak dihukum. Menurut doktrin yang dimaksud dengan pogging ialah “ Permulaan kejahatan yang belum selesai, KUHP tidak memberikan perumusan mengenai pogging soal itu diserahkan kepada pogging dan yurisprudensi. Dalam KUHP Pogging ini diatur dalam pasal 53 KUHP, yang berbunyi :
“Percobaan untuk melakukan kejahatan dapat dihukum, jika niat orang yang hendak berbuat itu telah nyata mulai dilakukan dan kejahatan itu tidak diselesaikan hanyalah karena hal ikhwal yang tidak tergantung kepada kemauannya sendiri.”
 Pasal ini yang hanya menentukan syarat-syarat bilamana pogging dapat dihukum. Apabila kita membicarakan tentang pogging maka kita harus memahami bilamana suatu delik (tindak pidana) itu dianggap telah selesai dan menurut pasal 53 KUHP tidak dihukum bukan karena ia tidak selesai melakukan kejahatan melainkan karena ada timbulnya penyesalan. Ada empat macam pogging, yaitu:
a.       Percobaan yang sempurna, yaitu apabila perbuatan permulaan pelaksanaan itu sudah hampir mendekati pelaksanaan kejahatan yang dimaksud. Contoh A mau membunuh B dengan senjata api namun melesat dan mengenai telinga si B.
b.       Percobaan tertangguh
Contoh: si A mau menembak B, namun belum sempat menarik pelatuk senjata tersebut sudah direbut.
c.       Percobaan mubajir (sia-sia)
                                            i.            Dibagi dua, yaitu:Perbuatan mubajir secara mutlak\
Contoh: A mau meracun B dan A menaruh racun pada makanan yang ditaruh di atas meja yang siapa saja dapat memakannya.
                                          ii.            Percobaanrelatif (nisbi)
Contoh: A mau membunuh B dengan menikam menggunakan senjata tajam namun ternyata B sedang menggunakan baju jirah.
Catatan:
Percobaan mutlak tidak dihukum sedangkan percobaan nisbi dapat dihukum.
d.      Percobaan berjenis, yaitu jikalau percobaan yang dimaksud tidak berhasil akan   tetapi apa yang dihasilkan itu menghasilkan suaut kejahatan lain.
Contoh: A mau membunuh B dengan menggunakan senjata tajam namun tidak mati, sehingga A diancam dengan penganiyaan.

B.       Sifat Delik Percobaan
Mengenai sifat delik percobaan ini dapat disebutkan ada 2 :
1.      Pandangan pertama, yaitu antara lain dikemukakan oleh Moeljatno mengatakan bahwa percobaan adalah sebagai Tadbestandqusdeh nungsgrond, artinya bahwa percobaan adalah merupakan delik tersendiri delictum sui generis, jadi memperluas jumlah delik. Misalnya mencoba menuri yang diancam dengan Pasal 362 jo 53 ini adalah merupakan delik tersendiri yang terdiri dan dirumuskan dalam 2 Pasal. Jadi di samping delik selesai di dalam Pasal 362, ada delik lain yaitu delik percobaan melakukan pencurian. Menurut Moeljatno percobaan mencuri merupakan satu kesatuan yang bulat dan lengkap. Adapun alasan Moeljatno memasukkan percobaan sebagai delik tersendiri ialah karena :
a.       Pada dasarnya seseorang dipidana karena melakukan suatu delik
b.      Di dalam hukum adat tak dikenal adanya delik percobaan, yang ada hanya delik selesai
c.       Dalam KUHP ada delik percobaan yang dipandang berdiri sendiri, jadi merupakan delik selesai yaitu Pasal 104, 106,107 yang dinamakan sebagai delik-delik makar.
2.       Pendirian lain mengatakan bahwa percobaan adalah sebagai Strafausdehnungs grond artinya memperluas dipidananya seseorang. Menurut pendirian ini adalah bahwa seseorang melakukan percobaan untuk suatu perbuatan pidana meskipun tidak memenuhi semua unsur perbuatan pidana ia dihukum karena telah memenuhi rumusan Pasal 53 KUHP. Jadi pendirian ini menyatakan bahwa sifat percobaan meluaskan lingkungan dapat dipidananya orang.

C.      Syarat Dipidananya Pembuat Percobaan Kejahatan
Syarat-syarat atau unsur-unsur delik percobaan yang di rumuskan dalam Pasal 53 KUHP yaitu :
1.      Harus ada niat (Voornemen)
Oleh banyak kalangan pakar hukum, niat disini diartikan sama dengan kesengajaan (opzettelijk). Para ahli hukum yang berpendapat bahwa niat adalah kesengajaan dalam semua bentuknya (pendapat luas) misalnya : Jonkers, Van Hattum, Hazewinkel Suringa, Simons, di Indonesia Wirjono Prodjodikoro dan Satochid Kartanegara.
a.       Satochid
Beliau mengatakan bahwa dalam doktrin hukum dan yurisprudensi voornemen harus ditafsirkan sebagai kehendak. Dapat disimpulkan bahwa beliau menganut pandangan voornemen harus diartikan sebagai opzet. Dalam arti sempit, opzet adalah kesengajaan sebagai maksud adalah sesuai dengan arti voornemen, dan dalam arti luas adalah ketiga macam bentuk opzet.
Contoh : kasus kue tart dari kota Hoornse dimana seseorang hendak membunuh seorang laki-laki yang dibencinya dengan mengirimkan kue tart yang di dalamnya diisi racun.
● jika pendapat sempit : maka pengirim kue tidak mempunyai opzet pada istrinya yang mungkin juga makan kue tersebut.
● jika pendapat luas : maka kesengajaan kemungkinan terhadap istri dari orang yang dituju.
 b.  Hazewinkel Suringa
       Niat ini adalah rencana untuk mengadakan perbuatan tertentu dalam keadaan yang tertentu pula di dalam pikiran.
c.     M.V.T menjelaskan “niat” dalam Pasal 53 KUHP yaitu bahwa niat itu untuk melakukan perbuatan yang oleh UU ditentukan sebagai kejahatan. Karena itu percobaan tidak mungkin ada pada delik culpuos, pun tak ada pada pelanggaran, dimana dikenakan karena hanya ada perbuatan saja dengan tidak menghiraukan apakah kehendaknya itu ditujukan pada perbuatan itu atau tidak.
d.    Moeljatno,
       Berpendapat bahwa niat tidak sama dengan kesengajaan, menurut tingkat kesengajaan ada 3 macam, yaitu :
i.       Kesengajaan sebagai maksud atau tujuan.
ii.     Kesengajaan sebagai kepastian atau kesadaran atau keinsyafan mengenai perbuatan yang disadari sebagai pasti menimbulkan suatu akibat.
iii.   Kesengajaan sebagai kemungkinan atau suatu kesadaran/keinsyafan mengenai suatu perbuatan terhadap kemungkinan timbulnya suatu akibat dari suatu perbuatan disebut juga sebagai dolus eventualis.
Hanya pendapat VOS yang menganggap bahwa niat tersebut hanya meliputi corak kesengajaansebagai maksud saja. Pendapat VOS itu tidak dapat kita terima karena mendasarkan pandangannya atas perkataan niat. Dalam percakapan dan praktek menhhasilkan sesuatu yang tidak logis.      
2.      Harus ada permulaan pelaksanaan
Mengenai batas antara perbuatan persiapan dan perbuatan pelaksanaan artinya suatu perbuatan merupakan perbuatan persiapan dan merupakan pelaksanaan yang merupakan unsur delik percobaan.
Menurut M.V.T batas yang tegas antara perbuatan persiapan dan perbuatan pelaksanaan tidak dapat ditetapkan wet. Persoalan tersebut diserahkan pada hakim dan ilmu pengetahuan untuk melaksanakan azas yang ditetapkan dalam UU. Meskipun M.V.T menyatakan bahwa persoalan tersebut tak dapat dipecahkan lewat UU namun di dalam tersebut tak dapat dipecahkan lewat UU, namun dalam ilmu pengetahuan selalu di coba untuk memecahkan persoalan tersebut. Biasanya lalu dihubungkan dengan pendapat tentang dasar pemidanaan dari strafbare poging. Teori dasar pemidanaan ialah terutama mencari dasar patut dipidananya percobaan. Adapun teori-teori tersebut adalah :
a.       Teori Subyektif
Teori ini dasar patut dipidananya percobaan terletak pada watak yang berbahaya dari si pembuat. Jadi unsur sikap batin itulah yang merupakan pegangan bagi teori tersebut.
b.      Teori Obyektif
Teori ini dasar dari strafbare poging terletak pada sifat bahayanya perbuatan yang dilakukan oleh si pembuat.
 Pengikt dari pandangan ini ialah Simons dan Duynstee.
●  Simons : penganut pandangan Obyektif materiil mengatakan patut dipidananya percobaan karena secara obyektif perbuatan itu membahayakan kepentingan benda hukum tersebut.
● Duynstee : penganut pandangan Obyektif formil menyatakan pbahwa patut dipidananya perbuatan percobaan kerena menentang tata hukum.



3.      Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena kehendaknya sendiri
                  Pelaksanaan adalah  perbuatan yang didahului oleh permulaan pelaksanaan dan yang telah berhubungan langsung dengan kejahatan yang diperkuat artinya ialah satu-satunya perbuatan yang langsung dapat melahirkan kejahatan secara sempurna, tanpa harus ada perbuatan lain lagi.
● dalam tindak pidana formil, perbuatan pelaksanaan adalah tingkah laku yang telah berhubungan langsung dengan unsur perbuatan terlarang dalam rumusan kejahatan tertentu dengan kata lain merupakan pelaksnaan dari unsur perbuatan terlarang yang dirumuskan dalam Undang-undang.
● dalam tindak pidana materiil, perbuatan pelaksanaan adalah tingkah laku yang telah berhubungan langsung dengan perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum yang terlarang yang dirumuskan dengan Undang-undang atau dengan kata lain merupakan pelaksanaan dari perbuatan yang dapat menimbulkan akibat yang dilarang oleh Undang-Undang.
                 Pelaksanaan yang  tidak selesai memiliki ukuran atau indikator yang tidak sama antara tindak pidana formil dan tindak pinada materiil. Adapun tindak pidana formil pelaksanaan tidak selesai artinya perbuatan telak dimulai laksanakan yang pada saat atau sedang berlangsungnya kemudian terhenti, dalam arti apa yang menjadi syarat selesainya perbuatan tidak terpenuhi. Adapun yang menjadi syarat selesainya perbuatan tidak terpenuhi adalah berlainan untuk setiap kejahatan, bergantung dari unsur perbuatan apa yang diterapkan dalam rumusan kejahatan. Contoh : pencurian dan penggelapan tidaklah sama,
√   pencurian : syarat selesainya mengambil ialah perbuatan telah berpindah kekuasaan benda yang diambilnya kedalam kekuasaan mutlak dan nyata. Ukurannya adalah apabila hendak berbuat sesuatu terhadap benda langsung melakukannya tanpa memerlukan perbuatan lain.
√              penggelapan : perbuatan memiliki, syaratnya adalah benda yang semula berada dalam kekuasaannya telah lepas atau berpindah dari tangannya yaitu kebalikan dari syarat selesainya perbuatan mengambil.
                 Syarat pelaksanaan yang tidak selesai pada tindak pidana materiil, yang dalam hal ini ada 2 kemungkinan, ialah :
●  tindak pidana yang dirumuskan secara materiil pada intinya melarang menimbulkan akibat tertentu. Maka pelaksanaan tidak selesai adalah bila dari wujud perbuatan tidak menghasilkan akibat yang terlarang. Misalnya : menghilangkan nyawatelah menarik pelatuk dan senapan meledak peluru mengenai tubuh, tetapi tidak pada bagian yang mematikan, perbuatan tidak menimbulkan akibat matinya korban.
●  tindak pidana materiil bisa juga pelaksanaannya terhenti pada tindak pidana formil dan timbul karena akibat ini merupakan syarat esensial. Misalnya : perbuatan menembak telah menarik pelapuk senapan tetapi tidak meledak, perbuatan menembak sempurna bila memenuhi syarat menarik pelatuk dan senapan meledak.
                   Titik berat pada syarat untu dapat dipidananya percobaan kejahatan ialah tidak selesainya pelaksanaan semata-mata disebabkan oleh hal diluar kehendaknya. Apabila tidak selesainya pelaksanaan disebabkan oleh kehendaknya sendiri maka orang itu tidak dipidana. Hal pengunduran diri sukarela adalah berupa alasan peniadaan pidana termasuk dalam dasar pemaaf artinya wujud permulaan pelaksanaan telah dilakukan tetap bersifat melawan hukum tetapi hapusnya kesalahan pada diri si pembuat.
D.      Perbuatan-perbuatan yang Seolah-olah atau Mirip Percobaan
1.      Percobaan tidak mampu ( Ondeugdelijke)
Adalah perbuatan seseorang yang tidk dapat menyelesaikan kejahatan sebagaimana yang disyaratkan Undang-Undang oleh sebab alatnya dan atau obyeknya yang menurut sifatnya tidak mungkin dapat terjadinya suatu kejahatan. Jadi yang tidak mampu atau sempurna itu bukan percobaannya melainkan perbuatannya.
2.      Kekurangan Isi delik (mangel am tatbestand)
Adalah suatu perbuatan yang diarahkan untuk mewujudkan tindak pidana tetapi ternyata kekurangan atau tidak memenuhi salah satu unsur tindak pidana yang dituju.
3.      Delik Putatif (putatief delict)
Adalah terjadinya kesesatan hukum pada seseorang yang melakukan perbuatan dalam usahanya untuk mewujudkan tindak pidana.
4.      Percobaan Selesai (Delik Manque)
Adalah melakukan perbuatan yang ditujukan untuk melakukan tindak pidana yang pelaksanaannya sudah sudah begitu jauh sama seperti tindak pidana selesai, tetapi oleh sebab suatu hal tindak pidana itu tidak terjadi.

5.      Percobaan tertunda (geseharste poging)
Adalah percobaan yang perbuatan pelaksanaannya terhenti pada saat mendekati selesainya kejahatan.
6.      Percobaan yang dikualifisir (gequalificeerde poging)
Adalah percobaan yang perbuatan pelaksanaannya merupakan tindak pidana selesai yang lain daripada yang dituju.

PENYERTAAN

A.    Perlunya Penyertaan Dipidana
Apabila suatu tindak pidana tersangkut lebih dari satu orang pidana (bersama-sama).
Deelneming dibagi 2 (dua), yaitu:
1.      Deelneming berdiri sendiri, yaitu pertanggungjawaban dapat berdiri sendiri-sendiri atau tidak bergantung pada orang lain.
2.      Deelneming tidak berdiri sendiri, yaitu pertanggungjawaban tergantung pada orang lain.
Pentingnya mempelajari Deelneming untuk menentukan pertanggungan jawab masing-masing peserta terhadap delik, karena hubungan peserta terhadap delik itu tidak selalu sama.
Ajaran Penyertaan dalam Tindak Pidana (Deelneming aan strafbaar feit).
Dikatakan ada penyertaan apabila dalam tindak pidana tersangkut lebih dari satu orang pelaku (orang) atau Pelaku tindak pidana lebih dari satu orang.
Contoh:
Pasal 338 KUHP jo. Pasal 55 KUHP (jadi pembunuhan tersebut dilakukan oleh lebih dari satu orang pelaku.)
Ada 3 (tiga) pendapat tentang kapan terjadinya penyertaan.
a.         Prof. Simons
Dikatakan turut serta atau bersama-sama disyaratkan memenuhi unsur perbuatan yang dilarang (tindak pidana).
Contoh: jika ada 5 orang, dan setiap orang kecuali F melakukan hal-hal sebelum pembunuhan, seperti menjebak, mengikat, dll dan yang melakukan pembunuhan adalah F, maka yang dikatakan pelaku hanya F dan yang lain hanya membantu saja.

a.         Hoge Raad
       Dalam contoh kasus diatas, semua merupakan pelaku tindak pidana.
b.         Prof. Noyon.
       Pendapat Prof. Noyon sama dengan Hoge Raad.
Syarat-syarat untuk penyertaan:
a)      Kerja sama psikis (tidak syarat mutlak) = musyawarah
b)      Kerja sama fisik
Kata lain dari “Penyertaan”, yaitu:
● Turut campur dalam peristiwa pidana (Trisna)
● Turut Berbuat Delik (Karni)
● Turut serta (Utrecht)
Deelneming (Belanda)
Complicity (Inggris)
Beberapa pandangan tentang sifat penyertaan. Ada 2 pandangan, yaitu:
1. Sebagai dasar memperluas dapat dipidananya orang.
a.  Penyertaan dipandang sebagai persoalan pertanggungan jawab
b.  Penyertaan bukan suaut delik sebab bentuknya tidak sempurna (Prof. Simons, Van Hattum, Hazewinkel-Suringa)
2. Sebagai dasar memperluas dapat dipidanya perbuatan.
a.  Penyertaan dipandang bentuk khusus dari tindak pidana
b. Penyertaan merupakan suatu delik hanya bentuknya istimewa (Pompe, Moelyatno, SH., Ruslan Saleh)
Pembagian penyertaan ada  2 (dibagi 2), yaitu:
a. Von Feurbach, membagi penyertaan dalam 2 bentuk, yaitu: Pembuat dan Pembantu
b. KUHP Belanda dan Indonesia
- Dader (pembuat/pelaku)
- Pembantu
Penyertaan menurut KUHP Indonesia, diatur dalam pasal 55 tentang pelaku:
1. Mereka yang melakukan sendiri suatu tindak pidana (plegen)
2. Mereka yang menyuruh melakukan tindak pidana (doen plegen)
3. Mereka yang turut serta melakukan tindak pidana (medeplegen)
4. Mereka yang sengaja membujuk atau menggerakkan orang lain (uitlokker)
Pembantu diatur dalam pasal 56, yang terdiri dari:
- Pembantu pada saat kejahatan dilakukan
- Pembantu sebelum kejahatan dilakukan
- Pembantu setelah kejahatan dilakukan (penadahan)
B.    Sistem Pembebanan Tanggung Jawab pada Penyertaan
       Penyertaan (Deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta atau terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun pisik dengan melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana.
       Persoalan pokok dalam ajaran penyertaan, ialah :
1.      Mengenai diri orangnya
Ialah orang yang mewujudkan perbuatan yang bagaimanakah dan atau yang bersikap batin bagaimana yang dapat dipertimbangkan dan ditentukan sebagai terlibat atau bersangkut paut dengan tindak pidana yang diwujudkan oleh kerja sama lebih dari satu orang, sehingga patut dibebani tanggung jawab pidana atau dipidana.
2.      Mengenai tanggung jawab pidana
Ialah apakah yang terlibat akan dipertanggungjawabkan atau akan dipertanggung jawabkan yang sama atau dipertanggung jawabkan secara berbeda sesuai dengan kuat tidaknya keterlibatkan atau andil dari perbuatan terhadap terwujudnya tindak pidana.
Syarat seseorang terlibat dan ikut bertanggung jawab dalam mewujudkan tindak pidana :
1.      Dari sudut Subyektif, ada 2 Syarat ialah :
a.       Adanya hubungan batin (kesengajaan) artinya kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak pidana.
b.      Adanya hubungan batin (kesengajaan seperti mengetahui) antara dirinya dengan peserta lainnya
2.      Dari sudut Obyektif, ialah : bahwa perbuatan orang itu ada hubungannya dengan terwujudnya tindak pidana atau dengan kata lain wujud perbuatan secara obyek ada peran atau pengaruh positif baik besar atau kecil terhadap terwujudnya tindak pidana.
C.   Bentuk-bentuk Penyertaan
       Bentuk-bentuk penyertaan terdapat dan diterangkan dalam Pasal 55 dan 56.
       Pasal 55 merupuskan sebagai berikut :
1.      Dipidana sebagai pembuat tindak pidana
1)      Mereka yang melakuka, yang menyuruh lakukan dan turut serta melakukan perbuatan;
2)      Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancamanatau penyesatan atau dengan memberi kesempatan, saran atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
2.      Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
       Pasal 56 merumuskan sebagai berikut :
       Dipidana sebagai pembantu kejahatan
1.      Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
2.      Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Keterangan :
1)      Mereka yang melakukan (pembuat pelaksana : Pleger)
Adalah orang yang karena perbuatannyalah yang melahirkan tindak pidana, tanpa ada perbuatan pembuat pelaksana ini tindak pidana tidak akan terwujud, maka dari sudud ini syarat seorang pleger harus sama dengan syarat seorang dader. Jadi tampak secara jelas bahwa penentuan seorang pembuat pelaksana ini adalah didasarkan pada ukuran obyektif. Perbedaan pleger dengan dader adalah pleger masih diperlukan keterlibatan minimal seorang lainnya, baik secara psikhis, jadi pleger diperlukan sumbangan dari peserta lain dalam mewujudkan tindak pidana. Sedangkan pembuat peserta dipertanggungjawabkan dan diancam pidana yang sama dengan dader (pembuat tunggal).
2)      Mereka yang menyuruh melakukan (pembuat penyuruh : Doen Pleger)
Berdasarkan keterangan MvT disimpulkan bahwa penetuan bentuk pembuat penyuruhan lebih ditekankan pada ukuran obyektif, yaitu tindak pidana dilakukan oleh orang yang dalam kekuasaan sebagai alat yang diperbuat tanpa kesalahan dan tanpa tanggung jawab. Alasan tunduk pada kekerasan adalah bersifat obyektif :
a.       Orang lain sebagai alat di dalam tangannya
b.      Tanpa kesengajaan atau kealpaan
c.       Karena tersesatkan
d.      Karena kekerasan
3)      Mereka yang turut serta melakukan (pembuat peserta Medepleger)
Ialah bahwa pada masing-masing peserta telah melakukan perbuatan yang sama-sama memenuhi semua rumusan tindak pidana yang bersangkutan.
4)      Orang yang sengaja menganjurkan (pembuat penganjur : Uitlokker)
Orang yang sengaja menganjurkan dirumuskan dengan lebih lengkap dengan menyebutkan unsur obyektif sekaligus unsur subyektif, rumusan selengkapnya :
“mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, memberi kesempatan, sarana dan keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.”

       UITLOKKER
Mungkinkah ada percobaan penganjuran atau penganjuran gagal/pembujukan yang gagal = Mistake unlokking. Penganjuran yang gagal ini dapat terjadi dalam hali, seseorang telah dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan salah satu sarana dalam pasal 55 ayat (1) ke 2.
Akan tetapi orang lain itu tidak mau melakukan atau mau melakukan akan tetapi tidak sampai dapat melaksanakan yang dapat dipidana, dengan kata lain baru terpenuhi syarat 1 dan 2 atau syarat 1 sampai dengan 3.
Timbul masalah apakah terhadap persoalan utnuk membujuk atau penganjuran yang gagal itu dapat dipidana mengenai pasal ini sebelum adanya pasal 163 BIS ada dua pandangan.
Pandangan pertama:
Penganjuran dipandang sebagai bentuk penyertaan accessoire (tidak berdiri sendiri) (baru bertanggung jawab jika yang dibujuk itu melakukan). Menurut pandangan ini penganjuran itu ada apabila ada tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat materiil (pelaku yang langsung membuat DPR si penganjur dipidana apabila orang yang dibujuk melakukan perbuatan yang dapat dipidana, karena didepan “Percobaan untuk penganjuran’ ini tindak pidana itu tidak terjadi si penganjur juga tidak dapat dipidana). Penganjuran dipandang sebagai bentuk penyertaan yang tidak accesoire (berdiri sendiri) (tidak tergantung pada yang lain). Menurut pendapat ini ada atau tidaknya penganjuran tidak tergantung pada ada atau tidaknya atau terjadi atau tidaknya tindak pidana. Dengan perkataan lain si penganjur tetap dapat dipidana walaupun tindak pidana yang dianjurkan kepada si pelaku tidak terjadi. Menurut pandangan kedua ini percobaan untuk penganjuran tetap bisa dipidana. (Penganutnya Yonker, Pompe). Mislake artinya tidak berhasil Pasal 163 BIS, berbunyi:
Barangsiapa dengan mempergunakan salah satu daya upaya dan yang disebutkan dalam pasal 55 sub 2 menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu kejahatan dan jika kejahatan itu atau percobaannya yang dapat dihukum, tidak terjadi dihukum dengan hukuman penjara paling tinggi enam tahun atau denda, akan tetapi tidak boleh melebihi dari hukuman yang dapat dijatuhkan lantaran percobaan yang dapat dihukum tadi.
4 syarat Uittlokking, yaitu :
a.       Harus ada seseorang yang mempunyai maksud/kehendak untuk melaksanakan suatu tindak pidana dengan cara menggerakkan orang lain
b.      Harus ada orang lain yang dapat digerakkan untuk melakukannya
c.         Cara menggerakkannya harus dengan salah satu daya upaya sebagaimana ditentukan dalam pasal 55 ayat (1) sub 2
d.        dan orang yang digerakkan itu kemudian harus benar-benar melakukan tindak pidana yang diinginkan oleh orang yang menggerakkan.
Syarat penganjuran yang dapat dipidana/dihukum, yaitu:
a.       Ada kesegajaan untuk menggerakkan orang lain melakukan perbuatan yang dilarang.
b.       Menggerakkannya dengan menggugurkan upaya-upaya (sarana-sarana) seperti terseut dalam UU (bersifat limitatif)
c.       putusan kehendak dari si pembuat materiil ditimbulkan karena hal-hal tersebut pada 1 dan 2 di atas.
d.      si pembuat materiil tersebut melakukan tindak pidanan yang dianjurkan/percobaan melakukan tindak pidana
e.       pembuat materiil tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.

PERBARENGAN PERBUATAN PIDANA

Gabungan tindak pidana atau Pembarengan Tindak Pidana atau Samenloop aan Strafbarheit atau Concursus.
Terjadi apabila seseorang melakukan tindak pidana lebih dari satu kali atau juga apabila seseorang melakukan satu perbuatan dan dengan melakukan 1 perbuatan itu yang melanggar beberapa peraturan pidana.
Contoh: “A” – Tanggal 1 januari 2008 → Memperkosa
- (Belum tertangkap)→ Identitas sudah diketahui
- Tanggal 1 Februari 2008 → Mencuri
  - Tanggal 1 Maret 2008 → Membunuh (tertangkap)
Pentingnya: Untuk menentukan berapa hukuman bagi seseorang yang melakukan tindak pidana lebih dari 1 kali. Samenloop dibagi tiga, yaitu:
      - Een daadse samenloop/concursus idealis,
     - Voargezette handeling
     - Meer daadse samenloop/ concursus realis.
Satu gerakan terlanggar lebih dari satu pasal tindak pidana dengan kata lain satu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana
Contoh: Membunuh orang dibelakang kaca (Pasal 406 dan 338 KUHP)
Contoh menurut Hazewinkle Suringa:
Perkosaan di jalan umum masuk dalam 285 KUHP dan pasal 281 KUHP (melanggar kesusilaan di depan umum).
Contoh menurut Pompe:
Ada concursus idealis apabila orang melakukan suatu tindakan konkrit yang diarahkan kepada atau tujuan merupakan benda/objek aturan hukum. Misal: bersetubuh dengan anaknya sendiri yang belum genap 15 tahun (Pasal 294 dan pasal 287 KUHP).
Contoh menurut Taverna:
Ada concursus idealis apabila dipandang dari sudut hukum pidana ada dua perbuatan atau lebih di antara perbuatan-perbuatan itu tidak dapat dipisahkan terlepas satu sama lain. Misal: orang dalam keadaan mabuk mengendarai mobil di waktu malam dan tidak memakai lampu, dalam hal ini perbuatan hanya satu, yaitu mengendarai mobil, tetapi dilihat dari sudut hukum ada dua perbuatan yang masing-masing dapat dipikirkan terlepas dari satu sama lain.
Van Benmellen
1. Ada concursus idealis apabila dengan:
·            melanggar satu kepentingan umum dengan sendirinya melakukan perbuatan yang lain pula. Contoh: perkosaan di jalan umum
·            sistem pemberian pidana pada concursus idealis, menurut ayat (1) digunakan sistem pasal 63 KUHP, yaitu digunakan satu pidana pokok yang terberat perkosaan di jalan umum. Contoh Pasal 285 (12 tahun), Pasal 281 (2 tahun 8 bulan).
·            apabila hakim mengahadapi pilihan antara dua pidana pokok sejenis yang maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok dengan pidana tambahan yang paling berat.
2. Perbuatan berlanjut (Pasal 64 KUHP)
     Menurut Pasal 64 ayat (1) KUHP:
Pada prinsipnya berlaku sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana dan jika berbeda-beda dikarenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana pokok yang terberat.
3.    Concursus Realis
Orang yang melakukan perbuatan/tindak pidana yang tindak pidana yang satu dengan yang lain berdiri sendiri atau terpisah. Contoh Pasal 339.
Hal-hal yang membatalkan (menggugurkan) ” Hak Menuntut Hukuman “ (Verval Van Het Recht Tot Strafvordering) dan Hal-hal yang Membatalkan (Menggugurkan) “Hak Melaksanakan Hukuman” (Verval Van Het Recht Tot Strafuitvoering). Hal-hal yang membatalkan (Menggugurkan) hak menuntut hukuman:
Yang diatur dalam KUHP ada 4 jenis: Terdapat dalam buku I KUHP Bab VIII (Pasal 75-85 KUHP), yaitu hak untuk menentukan gugur karena,
Ne bis in idem atau bisa juga disebut non bis in idem, artinya seseorang tidak boleh dituntut sekali lagi terhadap perbuatan yang baginya telah diputuskan dengan keputusan hakim yang tidak boleh diubah lagi (memiliki kekuatan hukum tetap). Apa yang menjadi dasar bagi ajaran Ne bis in idem adalah:
i.      Untuk menjunjung tinggi keluhuran negara serta kehormatan pengadilan (dalam hal ini hakim sebagai alat perlengkapan negara) Rasionya: Andaikata dalam keputusan hukum yang telah tetap, si terdakwa dibebaskan karena pada waktu perkaranya diadili tidak terdapat cukup alat-alat buktinya sehingga terdakwa dibebaskan, tetapi kemudian alat-alat bukti di tambah sehingga nyatalah terdakwa terbukti bersalah lantaran perbuatan yang terdahulu. Sehingga apabila pasal 76 KUHP tidak ada, maka terdakwa akan dituntut kembali dan dihukum.
ii.    Untuk memberikan rasa kepastian hukum bagi perseorangan yang pernah dijatuhi pidana. Rasionya: jika perkara seorang terdakwa telah diputuskan dengan keputusan hakim yang telah mempunyai hukum tetap, maka keputusan tidak dapat dirubah lagi. Janganlah lagi orang merasa gelisah dan selalu dalam ketakutan lantaran suatu perkara baginya sudah diputus.

Mengenai sistem pemberian pidana ada 4 (empat) macam atau sistem :
1.         Sistem absorpsi, yaitu yang diterapkan hanya ketentuan pidana yang terbatas;
2.         Sistem absorpsi yang dipertajam, yaitu yang diterapkan ketentuan pidana yanag terberat ditambah dengan 1/3 diatas pidana maksimum;
3.         Sistem kumulasi, yaitu yang diterapkan tiap-tiap ketentuan pidana tanpa dikurangi;
4.         Sistem kumulasi yang diperlunak yaitu yang diterapkan semua ketentuan pidana tetapi tidak boleh melebihi yang terberatditambah sebagian dari ini (1/3nya)


DAFTAR PUSTAKA

BUKU
1.             Adam Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta : PT Grafindo Persada.