PERCOBAAN
KEJAHATAN (Pogging)
A. Perlunya Percobaan Kejahatan di
Pidana
Pogging yang
dapat dihukum Pogging yang tidak dihukum. Menurut doktrin yang dimaksud dengan
pogging ialah “ Permulaan kejahatan yang belum selesai, KUHP tidak memberikan
perumusan mengenai pogging soal itu diserahkan kepada pogging dan
yurisprudensi. Dalam KUHP Pogging ini diatur dalam pasal 53 KUHP, yang berbunyi
:
“Percobaan
untuk melakukan kejahatan dapat dihukum, jika niat orang yang hendak berbuat
itu telah nyata mulai dilakukan dan kejahatan itu tidak diselesaikan hanyalah
karena hal ikhwal yang tidak tergantung kepada kemauannya sendiri.”
Pasal ini yang hanya menentukan syarat-syarat
bilamana pogging dapat dihukum. Apabila kita membicarakan tentang pogging maka
kita harus memahami bilamana suatu delik (tindak pidana) itu dianggap telah
selesai dan menurut pasal 53 KUHP tidak dihukum bukan karena ia tidak selesai
melakukan kejahatan melainkan karena ada timbulnya penyesalan. Ada empat macam
pogging, yaitu:
a.
Percobaan yang sempurna, yaitu
apabila perbuatan permulaan pelaksanaan itu sudah hampir mendekati pelaksanaan
kejahatan yang dimaksud. Contoh A mau membunuh B dengan senjata api namun
melesat dan mengenai telinga si B.
b.
Percobaan
tertangguh
Contoh: si A
mau menembak B, namun belum sempat menarik pelatuk senjata tersebut sudah
direbut.
c.
Percobaan mubajir (sia-sia)
i.
Dibagi dua, yaitu:Perbuatan mubajir secara mutlak\
Contoh: A
mau meracun B dan A menaruh racun pada makanan yang ditaruh di atas meja yang
siapa saja dapat memakannya.
ii.
Percobaanrelatif (nisbi)
Contoh: A mau
membunuh B dengan menikam menggunakan senjata tajam namun ternyata B sedang
menggunakan baju jirah.
Catatan:
Percobaan
mutlak tidak dihukum sedangkan percobaan nisbi dapat dihukum.
d.
Percobaan berjenis, yaitu jikalau percobaan yang
dimaksud tidak berhasil akan tetapi apa
yang dihasilkan itu menghasilkan suaut kejahatan lain.
Contoh: A
mau membunuh B dengan menggunakan senjata tajam namun tidak mati, sehingga A
diancam dengan penganiyaan.
B. Sifat Delik Percobaan
Mengenai
sifat delik percobaan ini dapat disebutkan ada 2 :
1.
Pandangan pertama, yaitu antara lain dikemukakan oleh
Moeljatno mengatakan bahwa percobaan adalah sebagai Tadbestandqusdeh nungsgrond, artinya bahwa percobaan adalah
merupakan delik tersendiri delictum sui
generis, jadi memperluas jumlah delik. Misalnya mencoba menuri yang diancam
dengan Pasal 362 jo 53 ini adalah merupakan delik tersendiri yang terdiri dan
dirumuskan dalam 2 Pasal. Jadi di samping delik selesai di dalam Pasal 362, ada
delik lain yaitu delik percobaan melakukan pencurian. Menurut Moeljatno
percobaan mencuri merupakan satu kesatuan yang bulat dan lengkap. Adapun alasan
Moeljatno memasukkan percobaan sebagai delik tersendiri ialah karena :
a.
Pada dasarnya seseorang dipidana karena melakukan
suatu delik
b.
Di dalam hukum adat tak dikenal adanya delik
percobaan, yang ada hanya delik selesai
c.
Dalam KUHP ada delik percobaan yang dipandang berdiri sendiri,
jadi merupakan delik selesai yaitu Pasal 104, 106,107 yang dinamakan sebagai
delik-delik makar.
2.
Pendirian lain
mengatakan bahwa percobaan adalah sebagai Strafausdehnungs
grond artinya memperluas dipidananya seseorang. Menurut pendirian ini
adalah bahwa seseorang melakukan percobaan untuk suatu perbuatan pidana
meskipun tidak memenuhi semua unsur perbuatan pidana ia dihukum karena telah
memenuhi rumusan Pasal 53 KUHP. Jadi pendirian ini menyatakan bahwa sifat
percobaan meluaskan lingkungan dapat dipidananya orang.
C. Syarat Dipidananya Pembuat Percobaan Kejahatan
Syarat-syarat
atau unsur-unsur delik percobaan yang di rumuskan dalam Pasal 53 KUHP yaitu :
1.
Harus ada niat (Voornemen)
Oleh banyak
kalangan pakar hukum, niat disini diartikan sama dengan kesengajaan (opzettelijk). Para ahli hukum yang
berpendapat bahwa niat adalah kesengajaan dalam semua bentuknya (pendapat luas)
misalnya : Jonkers, Van Hattum, Hazewinkel Suringa, Simons, di Indonesia
Wirjono Prodjodikoro dan Satochid Kartanegara.
a.
Satochid
Beliau
mengatakan bahwa dalam doktrin hukum dan yurisprudensi voornemen harus
ditafsirkan sebagai kehendak. Dapat disimpulkan bahwa beliau menganut pandangan
voornemen harus diartikan sebagai opzet. Dalam arti sempit, opzet adalah
kesengajaan sebagai maksud adalah sesuai dengan arti voornemen, dan dalam arti
luas adalah ketiga macam bentuk opzet.
Contoh :
kasus kue tart dari kota Hoornse dimana seseorang hendak membunuh seorang
laki-laki yang dibencinya dengan mengirimkan kue tart yang di dalamnya diisi
racun.
● jika pendapat sempit : maka pengirim kue tidak mempunyai opzet pada
istrinya yang mungkin juga makan kue tersebut.
● jika pendapat luas : maka kesengajaan kemungkinan terhadap istri dari
orang yang dituju.
b.
Hazewinkel Suringa
Niat ini adalah rencana untuk
mengadakan perbuatan tertentu dalam keadaan yang tertentu pula di dalam pikiran.
c. M.V.T menjelaskan “niat” dalam
Pasal 53 KUHP yaitu bahwa niat itu untuk melakukan perbuatan yang oleh UU
ditentukan sebagai kejahatan. Karena itu percobaan tidak mungkin ada pada delik
culpuos, pun tak ada pada pelanggaran, dimana dikenakan karena hanya ada
perbuatan saja dengan tidak menghiraukan apakah kehendaknya itu ditujukan pada
perbuatan itu atau tidak.
d. Moeljatno,
Berpendapat bahwa niat tidak
sama dengan kesengajaan, menurut tingkat kesengajaan ada 3 macam, yaitu :
i.
Kesengajaan sebagai maksud atau tujuan.
ii.
Kesengajaan sebagai kepastian atau kesadaran atau
keinsyafan mengenai perbuatan yang disadari sebagai pasti menimbulkan suatu
akibat.
iii.
Kesengajaan sebagai kemungkinan atau suatu
kesadaran/keinsyafan mengenai suatu perbuatan terhadap kemungkinan timbulnya
suatu akibat dari suatu perbuatan disebut juga sebagai dolus eventualis.
Hanya
pendapat VOS yang menganggap bahwa niat tersebut hanya meliputi corak
kesengajaansebagai maksud saja. Pendapat VOS itu tidak dapat kita terima karena
mendasarkan pandangannya atas perkataan niat. Dalam percakapan dan praktek
menhhasilkan sesuatu yang tidak logis.
2.
Harus ada permulaan pelaksanaan
Mengenai batas antara perbuatan persiapan dan
perbuatan pelaksanaan artinya suatu perbuatan merupakan perbuatan persiapan dan
merupakan pelaksanaan yang merupakan unsur delik percobaan.
Menurut M.V.T batas yang tegas antara perbuatan
persiapan dan perbuatan pelaksanaan tidak dapat ditetapkan wet. Persoalan tersebut diserahkan pada hakim dan ilmu pengetahuan
untuk melaksanakan azas yang ditetapkan dalam UU. Meskipun M.V.T menyatakan
bahwa persoalan tersebut tak dapat dipecahkan lewat UU namun di dalam tersebut
tak dapat dipecahkan lewat UU, namun dalam ilmu pengetahuan selalu di coba
untuk memecahkan persoalan tersebut. Biasanya lalu dihubungkan dengan pendapat
tentang dasar pemidanaan dari strafbare
poging. Teori dasar pemidanaan ialah terutama mencari dasar patut
dipidananya percobaan. Adapun teori-teori tersebut adalah :
a.
Teori Subyektif
Teori ini dasar patut dipidananya percobaan terletak
pada watak yang berbahaya dari si pembuat. Jadi unsur sikap batin itulah yang
merupakan pegangan bagi teori tersebut.
b.
Teori Obyektif
Teori ini dasar dari strafbare poging terletak pada sifat bahayanya perbuatan yang
dilakukan oleh si pembuat.
Pengikt dari
pandangan ini ialah Simons dan Duynstee.
●
Simons : penganut pandangan Obyektif materiil mengatakan patut
dipidananya percobaan karena secara obyektif perbuatan itu membahayakan
kepentingan benda hukum tersebut.
● Duynstee
: penganut pandangan Obyektif formil menyatakan pbahwa patut dipidananya
perbuatan percobaan kerena menentang tata hukum.
3.
Pelaksanaan tidak selesai semata-mata bukan karena
kehendaknya sendiri
Pelaksanaan adalah perbuatan yang didahului oleh permulaan
pelaksanaan dan yang telah berhubungan langsung dengan kejahatan yang diperkuat
artinya ialah satu-satunya perbuatan yang langsung dapat melahirkan kejahatan
secara sempurna, tanpa harus ada perbuatan lain lagi.
●
dalam tindak pidana formil, perbuatan pelaksanaan adalah tingkah laku yang
telah berhubungan langsung dengan unsur perbuatan terlarang dalam rumusan
kejahatan tertentu dengan kata lain merupakan pelaksnaan dari unsur perbuatan terlarang
yang dirumuskan dalam Undang-undang.
●
dalam tindak pidana materiil, perbuatan pelaksanaan adalah tingkah laku yang
telah berhubungan langsung dengan perbuatan yang dapat menimbulkan akibat hukum
yang terlarang yang dirumuskan dengan Undang-undang atau dengan kata lain
merupakan pelaksanaan dari perbuatan yang dapat menimbulkan akibat yang
dilarang oleh Undang-Undang.
Pelaksanaan yang tidak selesai memiliki ukuran atau indikator
yang tidak sama antara tindak pidana formil dan tindak pinada materiil. Adapun
tindak pidana formil pelaksanaan tidak selesai artinya perbuatan telak dimulai
laksanakan yang pada saat atau sedang berlangsungnya kemudian terhenti, dalam
arti apa yang menjadi syarat selesainya perbuatan tidak terpenuhi. Adapun yang
menjadi syarat selesainya perbuatan tidak terpenuhi adalah berlainan untuk
setiap kejahatan, bergantung dari unsur perbuatan apa yang diterapkan dalam rumusan
kejahatan. Contoh : pencurian dan penggelapan tidaklah sama,
√ pencurian : syarat selesainya mengambil
ialah perbuatan telah berpindah kekuasaan benda yang diambilnya kedalam
kekuasaan mutlak dan nyata. Ukurannya adalah apabila hendak berbuat sesuatu
terhadap benda langsung melakukannya tanpa memerlukan perbuatan lain.
√ penggelapan : perbuatan memiliki,
syaratnya adalah benda yang semula berada dalam kekuasaannya telah lepas atau
berpindah dari tangannya yaitu kebalikan dari syarat selesainya perbuatan
mengambil.
Syarat pelaksanaan yang tidak
selesai pada tindak pidana materiil, yang dalam hal ini ada 2 kemungkinan,
ialah :
● tindak pidana yang dirumuskan secara materiil
pada intinya melarang menimbulkan akibat tertentu. Maka pelaksanaan tidak selesai
adalah bila dari wujud perbuatan tidak menghasilkan akibat yang terlarang.
Misalnya : menghilangkan nyawatelah menarik pelatuk dan senapan meledak peluru
mengenai tubuh, tetapi tidak pada bagian yang mematikan, perbuatan tidak
menimbulkan akibat matinya korban.
● tindak pidana materiil bisa juga
pelaksanaannya terhenti pada tindak pidana formil dan timbul karena akibat ini
merupakan syarat esensial. Misalnya : perbuatan menembak telah menarik pelapuk
senapan tetapi tidak meledak, perbuatan menembak sempurna bila memenuhi syarat
menarik pelatuk dan senapan meledak.
Titik berat pada syarat untu
dapat dipidananya percobaan kejahatan ialah tidak selesainya pelaksanaan
semata-mata disebabkan oleh hal diluar kehendaknya. Apabila tidak selesainya
pelaksanaan disebabkan oleh kehendaknya sendiri maka orang itu tidak dipidana.
Hal pengunduran diri sukarela adalah berupa alasan peniadaan pidana termasuk
dalam dasar pemaaf artinya wujud permulaan pelaksanaan telah dilakukan tetap
bersifat melawan hukum tetapi hapusnya kesalahan pada diri si pembuat.
D. Perbuatan-perbuatan yang
Seolah-olah atau Mirip Percobaan
1.
Percobaan tidak mampu ( Ondeugdelijke)
Adalah
perbuatan seseorang yang tidk dapat menyelesaikan kejahatan sebagaimana yang
disyaratkan Undang-Undang oleh sebab alatnya dan atau obyeknya yang menurut
sifatnya tidak mungkin dapat terjadinya suatu kejahatan. Jadi yang tidak mampu
atau sempurna itu bukan percobaannya melainkan perbuatannya.
2.
Kekurangan Isi delik (mangel am tatbestand)
Adalah
suatu perbuatan yang diarahkan untuk mewujudkan tindak pidana tetapi ternyata
kekurangan atau tidak memenuhi salah satu unsur tindak pidana yang dituju.
3.
Delik Putatif (putatief delict)
Adalah
terjadinya kesesatan hukum pada seseorang yang melakukan perbuatan dalam
usahanya untuk mewujudkan tindak pidana.
4.
Percobaan Selesai (Delik Manque)
Adalah
melakukan perbuatan yang ditujukan untuk melakukan tindak pidana yang
pelaksanaannya sudah sudah begitu jauh sama seperti tindak pidana selesai,
tetapi oleh sebab suatu hal tindak pidana itu tidak terjadi.
5.
Percobaan tertunda (geseharste poging)
Adalah
percobaan yang perbuatan pelaksanaannya terhenti pada saat mendekati selesainya
kejahatan.
6.
Percobaan yang dikualifisir (gequalificeerde poging)
Adalah
percobaan yang perbuatan pelaksanaannya merupakan tindak pidana selesai yang
lain daripada yang dituju.
PENYERTAAN
A. Perlunya Penyertaan Dipidana
Apabila
suatu tindak pidana tersangkut lebih dari satu orang pidana (bersama-sama).
Deelneming dibagi 2
(dua), yaitu:
1.
Deelneming berdiri sendiri, yaitu
pertanggungjawaban dapat berdiri sendiri-sendiri atau tidak bergantung pada
orang lain.
2.
Deelneming tidak berdiri sendiri, yaitu
pertanggungjawaban tergantung pada orang lain.
Pentingnya
mempelajari Deelneming untuk menentukan pertanggungan jawab
masing-masing peserta terhadap delik, karena hubungan peserta terhadap delik
itu tidak selalu sama.
Ajaran
Penyertaan dalam Tindak Pidana (Deelneming aan strafbaar feit).
Dikatakan
ada penyertaan apabila dalam tindak pidana tersangkut lebih dari satu orang
pelaku (orang) atau Pelaku tindak pidana lebih dari satu orang.
Contoh:
Pasal 338
KUHP jo. Pasal 55 KUHP (jadi pembunuhan tersebut dilakukan oleh lebih dari satu
orang pelaku.)
Ada 3 (tiga)
pendapat tentang kapan terjadinya penyertaan.
a.
Prof. Simons
Dikatakan
turut serta atau bersama-sama disyaratkan memenuhi unsur perbuatan yang
dilarang (tindak pidana).
Contoh: jika
ada 5 orang, dan setiap orang kecuali F melakukan hal-hal sebelum pembunuhan,
seperti menjebak, mengikat, dll dan yang melakukan pembunuhan adalah F, maka
yang dikatakan pelaku hanya F dan yang lain hanya membantu saja.
a.
Hoge Raad
Dalam contoh kasus diatas, semua
merupakan pelaku tindak pidana.
b.
Prof. Noyon.
Pendapat Prof. Noyon sama dengan
Hoge Raad.
Syarat-syarat untuk penyertaan:
a)
Kerja sama psikis (tidak syarat mutlak) = musyawarah
b)
Kerja sama fisik
Kata lain
dari “Penyertaan”, yaitu:
● Turut
campur dalam peristiwa pidana (Trisna)
● Turut
Berbuat Delik (Karni)
● Turut
serta (Utrecht)
● Deelneming
(Belanda)
● Complicity
(Inggris)
Beberapa pandangan
tentang sifat penyertaan. Ada 2 pandangan, yaitu:
1. Sebagai
dasar memperluas dapat dipidananya orang.
a. Penyertaan dipandang sebagai persoalan
pertanggungan jawab
b. Penyertaan bukan suaut delik sebab bentuknya
tidak sempurna (Prof. Simons, Van Hattum, Hazewinkel-Suringa)
2. Sebagai
dasar memperluas dapat dipidanya perbuatan.
a. Penyertaan dipandang bentuk khusus dari tindak
pidana
b. Penyertaan
merupakan suatu delik hanya bentuknya istimewa (Pompe, Moelyatno, SH., Ruslan
Saleh)
Pembagian
penyertaan ada 2 (dibagi 2), yaitu:
a. Von
Feurbach, membagi penyertaan dalam 2 bentuk, yaitu: Pembuat dan Pembantu
b. KUHP
Belanda dan Indonesia
- Dader
(pembuat/pelaku)
- Pembantu
Penyertaan menurut KUHP Indonesia, diatur dalam pasal
55 tentang pelaku:
1. Mereka
yang melakukan sendiri suatu tindak pidana (plegen)
2. Mereka
yang menyuruh melakukan tindak pidana (doen plegen)
3. Mereka
yang turut serta melakukan tindak pidana (medeplegen)
4. Mereka
yang sengaja membujuk atau menggerakkan orang lain (uitlokker)
Pembantu
diatur dalam pasal 56, yang terdiri dari:
- Pembantu
pada saat kejahatan dilakukan
- Pembantu
sebelum kejahatan dilakukan
- Pembantu setelah kejahatan dilakukan (penadahan)
B. Sistem Pembebanan Tanggung Jawab pada
Penyertaan
Penyertaan
(Deelneming) adalah pengertian yang meliputi semua bentuk turut serta atau
terlibatnya orang atau orang-orang baik secara psikis maupun pisik dengan
melakukan masing-masing perbuatan sehingga melahirkan suatu tindak pidana.
Persoalan pokok dalam ajaran penyertaan,
ialah :
1.
Mengenai diri orangnya
Ialah orang
yang mewujudkan perbuatan yang bagaimanakah dan atau yang bersikap batin
bagaimana yang dapat dipertimbangkan dan ditentukan sebagai terlibat atau bersangkut
paut dengan tindak pidana yang diwujudkan oleh kerja sama lebih dari satu
orang, sehingga patut dibebani tanggung jawab pidana atau dipidana.
2.
Mengenai tanggung jawab pidana
Ialah apakah
yang terlibat akan dipertanggungjawabkan atau akan dipertanggung jawabkan yang
sama atau dipertanggung jawabkan secara berbeda sesuai dengan kuat tidaknya
keterlibatkan atau andil dari perbuatan terhadap terwujudnya tindak pidana.
Syarat
seseorang terlibat dan ikut bertanggung jawab dalam mewujudkan tindak pidana :
1.
Dari sudut Subyektif, ada 2 Syarat ialah :
a.
Adanya hubungan batin (kesengajaan) artinya
kesengajaan dalam berbuat diarahkan pada terwujudnya tindak pidana.
b.
Adanya hubungan batin (kesengajaan seperti mengetahui)
antara dirinya dengan peserta lainnya
2.
Dari sudut Obyektif, ialah : bahwa perbuatan orang itu
ada hubungannya dengan terwujudnya tindak pidana atau dengan kata lain wujud
perbuatan secara obyek ada peran atau pengaruh positif baik besar atau kecil
terhadap terwujudnya tindak pidana.
C. Bentuk-bentuk Penyertaan
Bentuk-bentuk penyertaan terdapat
dan diterangkan dalam Pasal 55 dan 56.
Pasal 55 merupuskan sebagai berikut :
1. Dipidana
sebagai pembuat tindak pidana
1)
Mereka yang melakuka, yang menyuruh lakukan dan turut
serta melakukan perbuatan;
2)
Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu,
dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancamanatau
penyesatan atau dengan memberi kesempatan, saran atau keterangan, sengaja
menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
2. Terhadap
penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan,
beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56 merumuskan sebagai
berikut :
Dipidana sebagai pembantu
kejahatan
1.
Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu
kejahatan dilakukan;
2.
Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau
keterangan untuk melakukan kejahatan.
Keterangan :
1)
Mereka yang melakukan (pembuat pelaksana : Pleger)
Adalah orang
yang karena perbuatannyalah yang melahirkan tindak pidana, tanpa ada perbuatan
pembuat pelaksana ini tindak pidana tidak akan terwujud, maka dari sudud ini
syarat seorang pleger harus sama dengan syarat seorang dader. Jadi tampak
secara jelas bahwa penentuan seorang pembuat pelaksana ini adalah didasarkan
pada ukuran obyektif. Perbedaan pleger dengan dader adalah pleger masih
diperlukan keterlibatan minimal seorang lainnya, baik secara psikhis, jadi
pleger diperlukan sumbangan dari peserta lain dalam mewujudkan tindak pidana.
Sedangkan pembuat peserta dipertanggungjawabkan dan diancam pidana yang sama
dengan dader (pembuat tunggal).
2)
Mereka yang menyuruh melakukan (pembuat penyuruh :
Doen Pleger)
Berdasarkan
keterangan MvT disimpulkan bahwa penetuan bentuk pembuat penyuruhan lebih
ditekankan pada ukuran obyektif, yaitu tindak pidana dilakukan oleh orang yang
dalam kekuasaan sebagai alat yang diperbuat tanpa kesalahan dan tanpa tanggung
jawab. Alasan tunduk pada kekerasan adalah bersifat obyektif :
a.
Orang lain sebagai alat di dalam tangannya
b.
Tanpa kesengajaan atau kealpaan
c.
Karena tersesatkan
d.
Karena kekerasan
3)
Mereka yang turut serta melakukan (pembuat peserta
Medepleger)
Ialah bahwa
pada masing-masing peserta telah melakukan perbuatan yang sama-sama memenuhi
semua rumusan tindak pidana yang bersangkutan.
4)
Orang yang sengaja menganjurkan (pembuat penganjur :
Uitlokker)
Orang yang
sengaja menganjurkan dirumuskan dengan lebih lengkap dengan menyebutkan unsur
obyektif sekaligus unsur subyektif, rumusan selengkapnya :
“mereka yang
dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau
martabat, memberi kesempatan, sarana dan keterangan, sengaja menganjurkan orang
lain supaya melakukan perbuatan.”
UITLOKKER
Mungkinkah
ada percobaan penganjuran atau penganjuran gagal/pembujukan yang gagal =
Mistake unlokking. Penganjuran yang gagal ini dapat terjadi dalam hali,
seseorang telah dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu
tindak pidana dengan menggunakan salah satu sarana dalam pasal 55 ayat (1) ke
2.
Akan tetapi
orang lain itu tidak mau melakukan atau mau melakukan akan tetapi tidak sampai
dapat melaksanakan yang dapat dipidana, dengan kata lain baru terpenuhi syarat
1 dan 2 atau syarat 1 sampai dengan 3.
Timbul
masalah apakah terhadap persoalan utnuk membujuk atau penganjuran yang gagal
itu dapat dipidana mengenai pasal ini sebelum adanya pasal 163 BIS ada dua
pandangan.
Pandangan
pertama:
Penganjuran
dipandang sebagai bentuk penyertaan accessoire (tidak berdiri sendiri) (baru
bertanggung jawab jika yang dibujuk itu melakukan). Menurut pandangan ini
penganjuran itu ada apabila ada tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat
materiil (pelaku yang langsung membuat DPR si penganjur dipidana apabila orang
yang dibujuk melakukan perbuatan yang dapat dipidana, karena didepan “Percobaan
untuk penganjuran’ ini tindak pidana itu tidak terjadi si penganjur juga tidak
dapat dipidana). Penganjuran dipandang sebagai bentuk penyertaan yang tidak
accesoire (berdiri sendiri) (tidak tergantung pada yang lain). Menurut pendapat
ini ada atau tidaknya penganjuran tidak tergantung pada ada atau tidaknya atau
terjadi atau tidaknya tindak pidana. Dengan perkataan lain si penganjur tetap
dapat dipidana walaupun tindak pidana yang dianjurkan kepada si pelaku tidak
terjadi. Menurut pandangan kedua ini percobaan untuk penganjuran tetap bisa
dipidana. (Penganutnya Yonker, Pompe). Mislake artinya tidak berhasil Pasal 163
BIS, berbunyi:
Barangsiapa
dengan mempergunakan salah satu daya upaya dan yang disebutkan dalam pasal 55
sub 2 menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu kejahatan dan jika
kejahatan itu atau percobaannya yang dapat dihukum, tidak terjadi dihukum
dengan hukuman penjara paling tinggi enam tahun atau denda, akan tetapi tidak
boleh melebihi dari hukuman yang dapat dijatuhkan lantaran percobaan yang dapat
dihukum tadi.
4 syarat
Uittlokking, yaitu :
a.
Harus ada seseorang yang mempunyai maksud/kehendak
untuk melaksanakan suatu tindak pidana dengan cara menggerakkan orang lain
b.
Harus ada orang lain yang dapat digerakkan untuk
melakukannya
c.
Cara menggerakkannya harus dengan salah satu daya
upaya sebagaimana ditentukan dalam pasal 55 ayat (1) sub 2
d.
dan orang yang digerakkan itu kemudian harus
benar-benar melakukan tindak pidana yang diinginkan oleh orang yang
menggerakkan.
Syarat
penganjuran yang dapat dipidana/dihukum, yaitu:
a.
Ada kesegajaan untuk menggerakkan orang lain melakukan
perbuatan yang dilarang.
b.
Menggerakkannya
dengan menggugurkan upaya-upaya (sarana-sarana) seperti terseut dalam UU
(bersifat limitatif)
c.
putusan kehendak dari si pembuat materiil ditimbulkan
karena hal-hal tersebut pada 1 dan 2 di atas.
d.
si pembuat materiil tersebut melakukan tindak pidanan
yang dianjurkan/percobaan melakukan tindak pidana
e.
pembuat materiil tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana.
PERBARENGAN PERBUATAN PIDANA
Gabungan
tindak pidana atau Pembarengan Tindak Pidana atau Samenloop aan Strafbarheit
atau Concursus.
Terjadi
apabila seseorang melakukan tindak pidana lebih dari satu kali atau juga
apabila seseorang melakukan satu perbuatan dan dengan melakukan 1 perbuatan itu
yang melanggar beberapa peraturan pidana.
Contoh: “A”
– Tanggal 1 januari 2008 → Memperkosa
- (Belum
tertangkap)→ Identitas sudah diketahui
- Tanggal 1
Februari 2008 → Mencuri
- Tanggal 1 Maret 2008 → Membunuh
(tertangkap)
Pentingnya: Untuk
menentukan berapa hukuman bagi seseorang yang melakukan tindak pidana lebih
dari 1 kali. Samenloop dibagi tiga, yaitu:
- Een daadse samenloop/concursus idealis,
- Voargezette handeling
- Meer daadse samenloop/ concursus realis.
Satu gerakan
terlanggar lebih dari satu pasal tindak pidana dengan kata lain satu perbuatan
masuk dalam lebih dari satu aturan pidana
Contoh:
Membunuh orang dibelakang kaca (Pasal 406 dan 338 KUHP)
Contoh
menurut Hazewinkle Suringa:
Perkosaan di
jalan umum masuk dalam 285 KUHP dan pasal 281 KUHP (melanggar kesusilaan di
depan umum).
Contoh menurut
Pompe:
Ada
concursus idealis apabila orang melakukan suatu tindakan konkrit yang diarahkan
kepada atau tujuan merupakan benda/objek aturan hukum. Misal: bersetubuh dengan
anaknya sendiri yang belum genap 15 tahun (Pasal 294 dan pasal 287 KUHP).
Contoh
menurut Taverna:
Ada
concursus idealis apabila dipandang dari sudut hukum pidana ada dua perbuatan
atau lebih di antara perbuatan-perbuatan itu tidak dapat dipisahkan terlepas
satu sama lain. Misal: orang dalam keadaan mabuk mengendarai mobil di waktu malam
dan tidak memakai lampu, dalam hal ini perbuatan hanya satu, yaitu mengendarai
mobil, tetapi dilihat dari sudut hukum ada dua perbuatan yang masing-masing
dapat dipikirkan terlepas dari satu sama lain.
Van
Benmellen
1. Ada
concursus idealis apabila dengan:
·
melanggar satu kepentingan umum dengan sendirinya
melakukan perbuatan yang lain pula. Contoh: perkosaan di jalan umum
·
sistem pemberian pidana pada concursus idealis,
menurut ayat (1) digunakan sistem pasal 63 KUHP, yaitu digunakan satu pidana
pokok yang terberat perkosaan di jalan umum. Contoh Pasal 285 (12 tahun), Pasal
281 (2 tahun 8 bulan).
·
apabila hakim mengahadapi pilihan antara dua pidana
pokok sejenis yang maksimumnya sama, maka menurut VOS ditetapkan pidana pokok
dengan pidana tambahan yang paling berat.
2. Perbuatan
berlanjut (Pasal 64 KUHP)
Menurut Pasal 64 ayat (1) KUHP:
Pada
prinsipnya berlaku sistem absorbsi, yaitu hanya dikenakan satu aturan pidana
dan jika berbeda-beda dikarenakan ketentuan yang memuat ancaman pidana pokok
yang terberat.
3.
Concursus Realis
Orang yang melakukan perbuatan/tindak pidana yang
tindak pidana yang satu dengan yang lain berdiri sendiri atau terpisah. Contoh
Pasal 339.
Hal-hal yang
membatalkan (menggugurkan) ” Hak Menuntut Hukuman “ (Verval Van Het Recht Tot Strafvordering)
dan Hal-hal yang Membatalkan (Menggugurkan) “Hak Melaksanakan Hukuman” (Verval
Van Het Recht Tot Strafuitvoering). Hal-hal yang membatalkan (Menggugurkan) hak
menuntut hukuman:
Yang diatur
dalam KUHP ada 4 jenis: Terdapat dalam buku I KUHP Bab VIII (Pasal 75-85 KUHP),
yaitu hak untuk menentukan gugur karena,
Ne bis in
idem atau bisa juga disebut non bis in idem, artinya
seseorang tidak boleh dituntut sekali lagi terhadap perbuatan yang baginya
telah diputuskan dengan keputusan hakim yang tidak boleh diubah lagi (memiliki
kekuatan hukum tetap). Apa yang menjadi dasar bagi ajaran Ne bis in idem
adalah:
i.
Untuk menjunjung tinggi keluhuran negara serta
kehormatan pengadilan (dalam hal ini hakim sebagai alat perlengkapan negara) Rasionya:
Andaikata dalam keputusan hukum yang telah tetap, si terdakwa dibebaskan karena
pada waktu perkaranya diadili tidak terdapat cukup alat-alat buktinya sehingga
terdakwa dibebaskan, tetapi kemudian alat-alat bukti di tambah sehingga
nyatalah terdakwa terbukti bersalah lantaran perbuatan yang terdahulu. Sehingga
apabila pasal 76 KUHP tidak ada, maka terdakwa akan dituntut kembali dan
dihukum.
ii.
Untuk memberikan rasa kepastian hukum bagi
perseorangan yang pernah dijatuhi pidana. Rasionya: jika perkara
seorang terdakwa telah diputuskan dengan keputusan hakim yang telah mempunyai
hukum tetap, maka keputusan tidak dapat dirubah lagi. Janganlah lagi orang
merasa gelisah dan selalu dalam ketakutan lantaran suatu perkara baginya sudah
diputus.
Mengenai
sistem pemberian pidana ada 4 (empat) macam atau sistem :
1.
Sistem absorpsi, yaitu yang diterapkan
hanya ketentuan pidana yang terbatas;
2.
Sistem absorpsi yang dipertajam, yaitu
yang diterapkan ketentuan pidana yanag terberat ditambah dengan 1/3 diatas
pidana maksimum;
3.
Sistem kumulasi, yaitu yang diterapkan
tiap-tiap ketentuan pidana tanpa dikurangi;
4.
Sistem kumulasi yang diperlunak yaitu
yang diterapkan semua ketentuan pidana tetapi tidak boleh melebihi yang
terberatditambah sebagian dari ini (1/3nya)
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
1.
Adam Chazawi. 2002. Pelajaran Hukum Pidana. Jakarta : PT Grafindo Persada.